Permintaan
Ibu
Aku tidak tahan lagi. Ibu barusan memarahiku karena aku
terlambat pulang sejam dari janji yang aku berikan.
“Gimana ibu bisa ngebiarin kamu pergi sendirian kalau
kamu nggak bisa pegang janji? Kamu bilang cuma telat sejam, tapi kamu nggak tau
kan, ibu stress selama sejam nungguin kamu pulang. Mana kamu tidak bisa
ditelpon lagi! Mulai sekarang nggak ada lagi pergi sen-pergi sendiri!” kata ibu
setengah berteriak.
Ah! Aku juga ingin berteriak! Ingin bilang kalau sejam
itu karena macet di jalan, bukan karena aku ingin berlama-lama dirumah sinta.
Ingin bilang, kalau handphone tidak bisa dihubungi karena jaringan sedang
error, itu bukan kesalahanku. Ingin bilang, dari seribu janji pulang tepat
waktu, bisa dihitung dengan jari aku terlambat. Dan, kali ini Cuma sejam! Dan
masih terang diluar sana, baru jam 5 sore!
Tapi ibu mana mau ngerti, ulang tahun ke 20, 2 bulan yang
lalu terlewati tanpa tambahan cap bahwa aku sudah dewasa, bisa dipercaya dan
lebih bebas main. Tapi tetap saja jam mainku dibatasi, bahkan meski besok
libur! Aku langsung masuk kamar, kesal sekali rasanya. Menyebalkan, menjadi
seseorang yang tidak pernah dipercaya.
Tak lama aku mendengar pintu kamar terbuka. Aku tetap
menutup muka dengan selimut. Malas bertemu siapapun rasanya.
“Maafin ibu yaa”
Oh, ibu ternyata. Eh tapi apa aku tidak salah dengar, ibu
minta maaf? Aku langsung mengangkat selimut, duduk dan mendapati ibu sudah
berdiri di ujung tempat tidur. Ibu melihatku dengan tatapan menyesalnya.
“Tadi ibu ngobrol di telpon sama ibunya sinta, katanya
kamu pulang duluan karena sudah janji sama ibu mau pulang jam 4, padahal
diskusi kamu belum selesai. Kamu lama menunggu taksi dan jalanan juga lagi
macet-macetnya, jadi sampai rumah kamu terlambat. Kenapa tadi nggak ngejelasin
ke ibu alasannya?”
“Aku nggak yakin ibu mau denger. Ibu kan nggak pernah
dengerin aku...” kataku datar. Ibu pun terdiam.
“Ibu nggak mau ada yang nyakitin kamu, ibu mau kamu tetap
aman, ibu takut kamu kenapa-kenapa diluar sana...”
“Aku tau bu. Tapi kan ibu udah kenal semua temanku, ibu
juga tau nomer telpon mereka, ibu juga tau aku pergi kemana dan sama siapa. Aku
ga pernah pergi seenaknya, bu...”
“Iya tapi susah sekali ngilangin rasa was-was ibu.
Ngebiarin kamu pergi diluar jam kuliah selalu ngebuat ibu senewen, ngebuat ibu
selalu mau telpon kamu terus”
Aku terdiam. Yah, mau bilang apa lagi? Toh nantinya juga
nggak ada perubahan.
“Tapi ibu mau mulai belajar ngendaliin diri dan
ngelonggarin peraturan” kata ibu sambil tersenyum.
“Caranya?” kataku ragu.
“Ibu mengijinkan kamu main lebih lama dan kita akan bikin
peraturan baru untuk itu. Tapi kamu harus sabar kalau ibu telpon kamu
terus-terusan kalau senewen ibu dateng. Meski kamu lagi jalan-jalan, belanja,
atau makan sama teman-teman kamu” kata ibu, tetap dengan tersenyum. “Bantu ibu
supaya bisa lebih percaya sama kamu”
Aku terdiam. Sebenarnya itu sudah terjadi. Dalam setengah
jam, ibu bisa telepon dan sms berkali-kali. Artinya, kesabaran aku sudah
teruji. Tetapi membiarkan aku berkumpul lebih lama dengan teman-teman? Itu
berita baru! Aku menganggung mantap, setuju!
“Oke kalau gitu, malam ini kita makan diluar” kata ibu
sambil berbalik dan berjalan keluar kamar.
“Emang ada acara apa bu?” tanyaku bingung. Makan malam
diluar hanya terjadi saat hari-hari istimewa atau weekend saja dirumahku.
“Ngerayain karena ibu udah ngelonggarin peraturan main
kamu dong!” kata ibu sambil menoleh ke arahku, tersenyum. “Ayo, siap-siap. Kamu
telpon ayah ya, pulang kerja langsung ke resto langganan aja, kita ketemuan
sama ayah disana. Ibu mau ngasih tau adik-adikmu supaya siap-siap juga” kata
ibu sambil menutup pintu kamarku.
Aku tertawa, senaaaaaaang!! Entah seberapa sabar nanti
aku menghadapi teror telpon ibu. Kejutan bahwa ibu mulai sekarang mempercayaiku
lebih berarti untukku. Aku segera meraih handphone, menelepon papa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar