Kamis, 15 Mei 2014

Tugas cerpen softskills bahasa indonesia 2

Permintaan Ibu

            Aku tidak tahan lagi. Ibu barusan memarahiku karena aku terlambat pulang sejam dari janji yang aku berikan.
            “Gimana ibu bisa ngebiarin kamu pergi sendirian kalau kamu nggak bisa pegang janji? Kamu bilang cuma telat sejam, tapi kamu nggak tau kan, ibu stress selama sejam nungguin kamu pulang. Mana kamu tidak bisa ditelpon lagi! Mulai sekarang nggak ada lagi pergi sen-pergi sendiri!” kata ibu setengah berteriak.
            Ah! Aku juga ingin berteriak! Ingin bilang kalau sejam itu karena macet di jalan, bukan karena aku ingin berlama-lama dirumah sinta. Ingin bilang, kalau handphone tidak bisa dihubungi karena jaringan sedang error, itu bukan kesalahanku. Ingin bilang, dari seribu janji pulang tepat waktu, bisa dihitung dengan jari aku terlambat. Dan, kali ini Cuma sejam! Dan masih terang diluar sana, baru jam 5 sore!
            Tapi ibu mana mau ngerti, ulang tahun ke 20, 2 bulan yang lalu terlewati tanpa tambahan cap bahwa aku sudah dewasa, bisa dipercaya dan lebih bebas main. Tapi tetap saja jam mainku dibatasi, bahkan meski besok libur! Aku langsung masuk kamar, kesal sekali rasanya. Menyebalkan, menjadi seseorang yang tidak pernah dipercaya.
            Tak lama aku mendengar pintu kamar terbuka. Aku tetap menutup muka dengan selimut. Malas bertemu siapapun rasanya.
            “Maafin ibu yaa”
            Oh, ibu ternyata. Eh tapi apa aku tidak salah dengar, ibu minta maaf? Aku langsung mengangkat selimut, duduk dan mendapati ibu sudah berdiri di ujung tempat tidur. Ibu melihatku dengan tatapan menyesalnya.
            “Tadi ibu ngobrol di telpon sama ibunya sinta, katanya kamu pulang duluan karena sudah janji sama ibu mau pulang jam 4, padahal diskusi kamu belum selesai. Kamu lama menunggu taksi dan jalanan juga lagi macet-macetnya, jadi sampai rumah kamu terlambat. Kenapa tadi nggak ngejelasin ke ibu alasannya?”
            “Aku nggak yakin ibu mau denger. Ibu kan nggak pernah dengerin aku...” kataku datar. Ibu pun terdiam.
            “Ibu nggak mau ada yang nyakitin kamu, ibu mau kamu tetap aman, ibu takut kamu kenapa-kenapa diluar sana...”
            “Aku tau bu. Tapi kan ibu udah kenal semua temanku, ibu juga tau nomer telpon mereka, ibu juga tau aku pergi kemana dan sama siapa. Aku ga pernah pergi seenaknya, bu...”
            “Iya tapi susah sekali ngilangin rasa was-was ibu. Ngebiarin kamu pergi diluar jam kuliah selalu ngebuat ibu senewen, ngebuat ibu selalu mau telpon kamu terus”
            Aku terdiam. Yah, mau bilang apa lagi? Toh nantinya juga nggak ada perubahan.
            “Tapi ibu mau mulai belajar ngendaliin diri dan ngelonggarin peraturan” kata ibu sambil tersenyum.
            “Caranya?” kataku ragu.
            “Ibu mengijinkan kamu main lebih lama dan kita akan bikin peraturan baru untuk itu. Tapi kamu harus sabar kalau ibu telpon kamu terus-terusan kalau senewen ibu dateng. Meski kamu lagi jalan-jalan, belanja, atau makan sama teman-teman kamu” kata ibu, tetap dengan tersenyum. “Bantu ibu supaya bisa lebih percaya sama kamu”
            Aku terdiam. Sebenarnya itu sudah terjadi. Dalam setengah jam, ibu bisa telepon dan sms berkali-kali. Artinya, kesabaran aku sudah teruji. Tetapi membiarkan aku berkumpul lebih lama dengan teman-teman? Itu berita baru! Aku menganggung mantap, setuju!
            “Oke kalau gitu, malam ini kita makan diluar” kata ibu sambil berbalik dan berjalan keluar kamar.
            “Emang ada acara apa bu?” tanyaku bingung. Makan malam diluar hanya terjadi saat hari-hari istimewa atau weekend saja dirumahku.
            “Ngerayain karena ibu udah ngelonggarin peraturan main kamu dong!” kata ibu sambil menoleh ke arahku, tersenyum. “Ayo, siap-siap. Kamu telpon ayah ya, pulang kerja langsung ke resto langganan aja, kita ketemuan sama ayah disana. Ibu mau ngasih tau adik-adikmu supaya siap-siap juga” kata ibu sambil menutup pintu kamarku.

            Aku tertawa, senaaaaaaang!! Entah seberapa sabar nanti aku menghadapi teror telpon ibu. Kejutan bahwa ibu mulai sekarang mempercayaiku lebih berarti untukku. Aku segera meraih handphone, menelepon papa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar